Sabtu, 05 Januari 2013

Melewati satu abad perjalanan, Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan serius. Bukan lagi persoalan Tahayyul, Bid’ah dan Khurafat (baca: TBC) se­bagai lawan utama dakwah ke depan, melainkan kejumudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi dua problem besar yang menyumbat gerak laju Per­syarikatan.

Upaya menggagas ijtihad gerakan adalah satu dari sekian wacana yang muncul dalam Kongres Penelitian In­ternasional mengenai Muhammadiyah (International Research Congress on Muhammadiyah/IRCM) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 29 November – 2 Desember 2012. Kongres yang dihadiri 40 peneliti baik dari nasional maupun internasional ini men­gupas tuntas kontestasi Persyarikatan selama satu abad berlalu.

Kongres juga memberikan gagasan-gagasan yang mencerdaskan sebagai modal melewati 100 tahun mendatang. Dari itu, berbagai otokiritik bermunculan di antaranya mengenai jumlah keang­gotaan yang tidak jelas, cara pandang konservatif yang dilestarikan, dan sejum­lah alasan kenapa para peneliti asing tidak lagi tertarik meneliti Muhammadiyah. Wartawan MATAN, Nafi’ Muthohirin berkesempatan mewawancarai Sekretaris Steering Comitee IRCM/Kandidat Dok­toral di University of California, Santa Barbara, AS, Ahmad Najib Burhani. Berikut beberapa petikannya:

Pada penyelenggaraan IRCM beberapa waktu lalu, apa saja masukan yang baru bagi Muhammadiyah?
Banyak hal baru yang ditemukan dalam acara kemarin, misalnya yang disampaikan M. Amin Abdullah dalam refleksi akhirnya. Dia menekankan su­paya Muhammadiyah melakukan ijtihad yang benar-benar baru, bukan sekedar recycling ijtihad seperti yang selama ini diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya menemukan satu bentuk iden­titas dan wawasan baru sebagai modal melangkah 100 tahun ke depan.

Selain itu juga ditemukan fakta yang mengagetkan dari data survei yang disodorkan beberapa panelis sep­erti Robin Bush, Hattori Mina (Nagoya University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural University, Jepang). Mereka menunjukkan bahwa jumlah keanggotaan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta seperti selama ini dipahami. Umumnya orang mengatakan, jika NU mengklaim punya 40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta. Kalau NU beranggotakan 30 juta, maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata warga Muhammadiyah tidak ada separuhnya warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen dari jumlah keseluruhan warga Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9 persen.

Apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu?
Menurut data survei yang dipapar­kan Hattori Mina dan Ken Miici, malah jumlahnya lebih kecil, 4,5 persen saja warga Persyarikatan yang benar-benar mengaku kader Muhammadiyah. Tentu saja ini memunculkan pertanyaan men­dalam apakah data ini benar.

Rizal Sukma menjelaskan, per­bedaan jumlah keanggotaan NU dan Muhammadiyah disebabkan karena NU adalah organisasi Islam yang lebih melekat pada tradisi, sementara Muham­madiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam modern. Orang mengaku NU hanya dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya datang ke haul. Tetapi kalau Muhammadiyah lebih terlihat pada kegiatan-kegiatan dan keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi.

Bahkan, ada orang yang mengatakan bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah itu berbeda. Variabel ini yang kiranya perlu diperhatikan lagi ketika me­lihat angka-angka keanggotaan tersebut. Tetapi angka itu sendiri, yang 7,9 persen atau 4,5 persen itu lumayan mengejutkan bagi warga Muhammadiyah.

Apa dampak dari angka keanggotaan yang sedikit itu?
Jika kita berefleksi pada awal pendi­rian Muhammadiyah memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu mempengaruhi perpolitikan nasional. Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Tetapi ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muham­madiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.

Persoalan apa lagi yang muncul dalam diskusi-diskusi di konferensi kemarin?
Dari presentasi paper para peneliti kemarin, kita juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit kader-kader Per­syarikatan yang terlihat agak ekstrem dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu bisa dibuktikan misalnya yang ter­dapat di Paciran atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama bisa terjadi di or­ganisasi manapun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan atau persekusi terhadap warga Syi’ah di Sampang. Bagi Muhammadiyah, yang terpenting kita bisa menjadikannya sebagai refleksi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan identitas pribadi.

Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyah yang cenderung menganggap Persyarikatan ini sudah keting­galan zaman, seperti dalam tulisan Mit­suo Nakamura dan Martin Van Bruines­sen. Karena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan.

Belakangan ini kita melihat para pe­neliti asing, bahkan dari Indonesia sendiri nampak sudah jarang menjadikan Muham­madiyah sebagai obyek penelitian yang menarik. Apa kira-kira penyebabnya?
Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi Islam lainnya, seperti giat bekerja, beramal tanpa pamrih, rame ing gawe, dan memberi sebanyak-banyaknya kepada anak yatim. Ini adalah karakter Muham­madiyah di tahun 1950-1970-an. Nilai-nilai puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada semangat protestan etik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai-nilai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.

Jadi ada semacam pergesaran nilai puritanisme?
Bisa dikatakan begitu. Terjadi kon­testasi pemaknaan di sini. Saya ambil contoh, dulu tahun 1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puri­tan atau Dahlan dan Rasul, di dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan protestanisme sep­erti Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai negara maju. Tetapi pada 2002, Peacock menulis fundamentalisme, sementara variabel yang dilihat berdasrkan konsep puri­tanisme Muhammadiyah seperti yang ditulisnya pada 1970-an. Dia berkisah tentang nilai yang sama tetapi punya makna yeng berbeda.

Selain otokritik terhadap Muham­madiyah, apa kelebihan Muhammadiyah yang dipresentasikan para peneliti asing kemarin?
Pertama, yang paling tampak or­ganisasi ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia masih berpikir tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda Muhammadiyah berpikir untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global. Kepercayaan diri itu ditemukan, meski secara geografis Indo­nesia berada di pinggiran dunia Islam. Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan Muhammadiyah adalah rencana menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Ghulen Move­ment dari Turki atau Nursi movement dan membahas perbandingan antara organisasi-organisasi itu.

Kedua, minat studi kemuhammadi­yahan yang dilakukan para sarjana lebih beragam. Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga pada aspek spiritualitas, fi­lantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan perspektif yang di­pakai, mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian perspektif menuju Durkheimian perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak se­mata sebagai organisasi ortodok, tapi juga organisasi yang berciri khas ke-Indonesiaan.

Apa refleksi dari kegiatan IRCM kemarin bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), terutama untuk pengembangan keilmuan?
Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar doktor dari luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttaqin, Rahmawati Husein, Alimatul Qibtiyah, Hilman Latief, Din Wahid, Prdana Boy, Mohammad Rokib, dan lain-lain. Mereka tampak sudah siap tampil tidak hanya di pentas nasional, tapi juga di tingkat internasional.

Ini barangkali yang sedikit mem­bedakan dari generasi senior di Mu­hammadiyah. Meski duduk dalam satu forum atau satu panel dengan begawan-begawan ahli Islam seperti M.C. Ricklefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward, Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura, Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan Herman L. Beck, mereka terlihat tak tampak minder atau merasa inferior.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar