Melewati satu abad perjalanan,
Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan serius. Bukan lagi persoalan Tahayyul,
Bid’ah dan Khurafat (baca: TBC) sebagai lawan utama dakwah ke
depan, melainkan kejumudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi dua problem
besar yang menyumbat gerak laju Persyarikatan.
Upaya menggagas ijtihad gerakan
adalah satu dari sekian wacana yang muncul dalam Kongres Penelitian Internasional
mengenai Muhammadiyah (International Research Congress on Muhammadiyah/IRCM)
di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 29 November – 2 Desember 2012.
Kongres yang dihadiri 40 peneliti baik dari nasional maupun internasional ini
mengupas tuntas kontestasi Persyarikatan selama satu abad berlalu.
Kongres juga memberikan
gagasan-gagasan yang mencerdaskan sebagai modal melewati 100 tahun mendatang.
Dari itu, berbagai otokiritik bermunculan di antaranya mengenai jumlah keanggotaan
yang tidak jelas, cara pandang konservatif yang dilestarikan, dan sejumlah
alasan kenapa para peneliti asing tidak lagi tertarik meneliti Muhammadiyah.
Wartawan MATAN, Nafi’ Muthohirin berkesempatan mewawancarai Sekretaris
Steering Comitee IRCM/Kandidat Doktoral di University of California, Santa
Barbara, AS, Ahmad Najib Burhani. Berikut beberapa petikannya:
Pada penyelenggaraan IRCM beberapa waktu lalu, apa saja
masukan yang baru bagi Muhammadiyah?
Banyak hal baru yang ditemukan
dalam acara kemarin, misalnya yang disampaikan M. Amin Abdullah dalam refleksi
akhirnya. Dia menekankan supaya Muhammadiyah melakukan ijtihad yang
benar-benar baru, bukan sekedar recycling ijtihad seperti yang selama
ini diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya menemukan satu bentuk identitas
dan wawasan baru sebagai modal melangkah 100 tahun ke depan.
Selain itu juga ditemukan fakta
yang mengagetkan dari data survei yang disodorkan beberapa panelis seperti
Robin Bush, Hattori Mina (Nagoya University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate
Prefectural University, Jepang). Mereka menunjukkan bahwa jumlah keanggotaan
Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta
seperti selama ini dipahami. Umumnya orang mengatakan, jika NU mengklaim punya
40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta. Kalau NU beranggotakan 30 juta,
maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata warga Muhammadiyah tidak ada separuhnya
warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen dari jumlah keseluruhan warga
Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9 persen.
Apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu?
Menurut data survei yang dipaparkan
Hattori Mina dan Ken Miici, malah jumlahnya lebih kecil, 4,5 persen saja warga
Persyarikatan yang benar-benar mengaku kader Muhammadiyah. Tentu saja ini
memunculkan pertanyaan mendalam apakah data ini benar.
Rizal Sukma menjelaskan, perbedaan
jumlah keanggotaan NU dan Muhammadiyah disebabkan karena NU adalah organisasi
Islam yang lebih melekat pada tradisi, sementara Muhammadiyah lebih ketat
sebagai organisasi Islam modern. Orang mengaku NU hanya dengan menjalankan
ziarah kubur atau misalnya datang ke haul. Tetapi kalau Muhammadiyah lebih
terlihat pada kegiatan-kegiatan dan keanggotaan yang lebih ketat daripada
tradisi.
Bahkan, ada orang yang
mengatakan bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah itu berbeda. Variabel ini
yang kiranya perlu diperhatikan lagi ketika melihat angka-angka keanggotaan
tersebut. Tetapi angka itu sendiri, yang 7,9 persen atau 4,5 persen itu lumayan
mengejutkan bagi warga Muhammadiyah.
Apa dampak dari angka keanggotaan yang sedikit itu?
Jika
kita berefleksi pada awal pendirian Muhammadiyah memang jumlah keanggotaan
organisasi Islam ini tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian
itu tentu mempengaruhi perpolitikan nasional. Jika angkanya hanya 7,9 persen
atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini
dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak terlalu
berefek. Tetapi ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut
Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muhammadiyah dalam pemerintahan akan
menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat
banyak.
Persoalan apa lagi yang muncul dalam diskusi-diskusi di
konferensi kemarin?
Dari presentasi paper para
peneliti kemarin, kita juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit kader-kader Persyarikatan
yang terlihat agak ekstrem dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu bisa
dibuktikan misalnya yang terdapat di Paciran atau Solo. Kekerasan berlandaskan
agama bisa terjadi di organisasi manapun, seperti penyerangan Ahmadiyah di
Manis Lor, Kuningan atau persekusi terhadap warga Syi’ah di Sampang. Bagi Muhammadiyah, yang
terpenting kita bisa menjadikannya sebagai refleksi, hanya apakah kita mau
menunaikan tugas menemukan identitas pribadi.
Selain itu, ada sekelompok warga
Muhammadiyah yang cenderung menganggap Persyarikatan ini sudah ketinggalan
zaman, seperti dalam tulisan Mitsuo Nakamura dan Martin Van Bruinessen.
Karena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih
dikeraskan.
Belakangan ini kita melihat para peneliti asing, bahkan
dari Indonesia sendiri nampak sudah jarang menjadikan Muhammadiyah sebagai
obyek penelitian yang menarik. Apa kira-kira penyebabnya?
Muhammadiyah memiliki karakter
yang berbeda dengan organisasi Islam lainnya, seperti giat bekerja, beramal
tanpa pamrih, rame ing gawe, dan memberi sebanyak-banyaknya kepada anak
yatim. Ini adalah karakter Muhammadiyah di tahun 1950-1970-an. Nilai-nilai
puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah
pada semangat protestan etik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini
nilai-nilai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan
ekstremisme.
Jadi ada semacam pergesaran nilai puritanisme?
Bisa dikatakan begitu. Terjadi
kontestasi pemaknaan di sini. Saya ambil contoh, dulu tahun 1970-an, semua
buku James L. Peacock seperti Muslim Puritan atau Dahlan dan Rasul,
di dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan
protestanisme seperti Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai
negara maju. Tetapi pada 2002, Peacock menulis fundamentalisme, sementara
variabel yang dilihat berdasrkan konsep puritanisme Muhammadiyah seperti yang
ditulisnya pada 1970-an. Dia berkisah tentang nilai yang sama tetapi punya
makna yeng berbeda.
Selain otokritik terhadap Muhammadiyah, apa kelebihan
Muhammadiyah yang dipresentasikan para peneliti asing kemarin?
Pertama, yang
paling tampak organisasi ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para
pemikir Indonesia masih berpikir tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini
para generasi muda Muhammadiyah berpikir untuk menampilkan Muhammadiyah di
tingkat global. Kepercayaan diri itu ditemukan, meski secara geografis Indonesia
berada di pinggiran dunia Islam. Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan
Muhammadiyah adalah rencana menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng
Ghulen Movement dari Turki atau Nursi movement dan membahas perbandingan
antara organisasi-organisasi itu.
Kedua, minat
studi kemuhammadiyahan yang dilakukan para sarjana lebih beragam. Tidak hanya
melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga pada aspek
spiritualitas, filantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan
perspektif yang dipakai, mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan
Weberian perspektif menuju Durkheimian perspektif dan perspektif lain yang
melihat tidak semata sebagai organisasi ortodok, tapi juga organisasi yang
berciri khas ke-Indonesiaan.
Apa refleksi dari kegiatan IRCM kemarin bagi Angkatan Muda
Muhammadiyah (AMM), terutama untuk pengembangan keilmuan?
Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM
menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar
doktor dari luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttaqin, Rahmawati Husein,
Alimatul Qibtiyah, Hilman Latief, Din Wahid, Prdana Boy, Mohammad Rokib, dan
lain-lain. Mereka tampak sudah siap tampil tidak hanya di pentas nasional, tapi
juga di tingkat internasional.
Ini barangkali yang sedikit membedakan dari generasi senior
di Muhammadiyah. Meski duduk dalam satu forum atau satu panel dengan
begawan-begawan ahli Islam seperti M.C. Ricklefs, Martin van Bruinessen, Mark
R. Woodward, Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura, Hyung-Jun Kim, dan Robert R.
Hefner, dan Herman L. Beck, mereka terlihat tak tampak minder atau merasa
inferior.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar